Kisah Nyata:
Inilah Drama Pernikahan Poligami yang Sangat Sempurna dan Sangat Mengharukan
Oleh Moeflich Hasbullah
Inilah kisah nyata drama kehidupan yang sangat mengharukan yang patut menjadi renungan, pelajaran dan contoh bagi kita semua. Sahabat dekat saya seorang yang sangat tulus dan ikhlas dalam berdakwah. Sebut saja namanya Ahmad. Usianya masih muda, baru 40 tahun. Dari orang-orang yang saya kenal, belum pernah saya menemukan orang seikhlas dan setulus dia dalam berbuat amal dan kebaikan. Ia tidak pernah merasa dirinya ustadz, tapi jama’ahnya memanggilnya begitu.
Ia berkeliling ke kampung-kampung, dari satu daerah ke daerah lain di Jawa Barat, dari Indramayu hingga Lebak, Banten, mengajak orang pada kesadaran agama dan kini jama’ahnya sudah ribuan. Bedanya dengan ustadz-ustadz lain yang kita kenal adalah bila mereka diundang ke masjid-masjid besar di kota, diundang ke Jakarta, dzikir nasional, datang berduyun-duyun, ustadznya berdiri di mimbar dan duduk di ruang yang nyaman, disorot televisi, populer dan dibayar. Ustadz yang satu ini, jauh dari suasana itu. Ia sendirilah yang datang berkeliling ke daerah-daerah dan kampung-kampung serta pelosok. Dialah yang mendatangi jama’ahnya sendirian tanpa ada yang membiayainya sepeserpun. Hotelnya adalah masjid, surau, tajug atau langgar. Ustadz muda ini membangun jama’ah yang bernama Jama’ah Taushiyah Syaghafan, pusatnya di Bandung. Ia tidak mau dikenal orang, dipuji dan menjadi populer. Popularitas baginya adalah godaan besar dalam berdakwah dan telah banyak merusak niat, mengotori hati dan membelokkan manusia dari keikhlasan berdakwah. Secara rutin, ia mengunjungi dan membina jama’ahnya di kampung-kampung. Tapi jangan salah, jama’ahnya bukan hanya orang-orang kecil. Kelas menengah, orang-orang kaya dan pejabat tinggi juga ada.
Dalam berdakwah, prinsipnya tak pernah mau dibayar sepeserpun. Uang puluhan juta sebagai amplop atau ucapan terima kasih, bahkan mobil dan rumah sebagai hadiah atau penghargaan lain dari orang-orang kaya yang disadarkannya dalam agama semuanya ia tolak. Padahal, ia orang yang kekurangan, jarang punya uang disakunya. Hidupnya benar-benar sederhana dan bersahaja. Penampilan biasa seperti pemuda kebanyakan. Memakai kaos atau kemeja dan tidak memakai asesoris keulamaan. Jauh dari kesan seorang Ustadz atau orang yang punya banyak kelebihan.
Ia sangat berpengaruh pada jama’ah yang dibinanya. Tangisan dan uraian air mata jama’ah adalah biasa saat mendengarkan nasehat-nesehat dan wejangan-wejangannya tentang kehidupan sehari-hari tapi menyentuh. Selain menyadarkan orang, ia juga membantu menyelesaikan masalah-masalah jama’ahnya dengan jalan keluar yang konkrit, tidak hanya nasehat dan anjuran seperti para mubaligh dan ulama lain. Ia juga mengobati berbagai penyakit pada orang yang ia tahu harus dibantu. Ia kuat tidak tidur dan menahan lapar berhari-hari. Ia mengetahui mana makanan yang bisa dimakan olehnya dan mana yang tidak. Itulah kekuatannya dan itulah yang membuatnya berpengaruh pada jama’ahnya, berpengaruh saat memberikan nasehatnya. Ia seorang hamba Allah yang sangat langka dan patut dicontoh. Dibawah ini adalah salah satu kisah menarik bagaimana ia menjawab persoalan jama’ahnya yang dipecahkannya secara konkrit.
Suatu siang di bulan Desember 2008, di salah satu kumpulan jama’ahnya di sebuah kampung di daerah Subang utara, Jawa Barat, setelah selesai pengajian rutinnya yang saat itu membahas bagaimana membangun keluarga Muslim yang sakinah, ada seorang jama’ah, seorang Bapak berusia sekitar 55 tahun, sebut saja namanya Pak Hasan, ia memohon Ustadz Ahmad untuk bertandang silaturahmi ke rumahnya. Ustadz itu memenuhinya. Ia berniat meneruskan pengajiannya dengan satu dua orang yang masih mengikutinya di rumah Pak Hasan untuk melakukan pembinaan. Hal itu sudah biasa ia lakukan. Setelah pengajian, tidak langsung pulang, melainkan meneruskan pendalaman, bila perlu seharian tau dua hari dan sering tanpa makan. Setelah berada di rumahnya dan air minum tersedia, Pak Hasan membuka pembicaraan pelan-pelan. Seperti ada persoalan berat yang ingin ia tanyakan.
“Pak Ustadz boleh saya menanyakan sesuatu?”
“Ya, masalah apa Pak?”Sambil agak malu-malu, ia bertanya,
“Begini Pak Ustadz. Tadi Pak Ustadz menyinggung juga sedikit masalah poligami yang benar menurut tuntunan agama. Terus terang, ini nyambung dengan yang ada di hati saya. Saya kebetulan berniat menikahi seorang perempuan di desa ini. Saya sudah dekat dengan dia dan bersilaturahmi kepada orang tuanya. Orang tuanya sudah tahu dan menerima niat saya. Tapi, saya bingung menghadapi istri saya. Ia pasti akan menolak dan tidak menyetujuinya. Saya mohon nasehat Ustadz, gimana sebaiknya ya Pak? Saya bingung.”
Ustadz sahabat saya ini segera paham, ia berniat poligami. “Pak, poligami dibolehkan dalam agama. Tapi harus hati-hati, harus benar-benar menjaga niatnya. Niat, cara dan tujuannya harus benar. Naah, niat dan tujuan Bapak menikahi perempuan itu apa? Jangan karena nafsu, hanya karena cantik, menarik, dan perempuannya mau. Atau karena merasa Bapak banyak uang, nanti akan kacau rumah tangga Bapak.”
“Begini Pak Ustadz. Niat saya ingin menolong perempuan itu. Orangnya baik, shaleh, dari keluarga sederhana. Usianya sekitar 36 tahun tapi belum menikah juga. Saya ingin membantunya dengan sekalian saja menikahinya. Insya Allah, saya niatkan sebagai ibadah. Dengan pandangan yang sama bahwa nikah itu ibadah, dia mau menjadi istri kedua, dia siap. Saya juga Insya Allah mampu. Kan tidak salah Pak Ustadz?” Katanya sambil agak malu-malu.
“Tapi, bagaimana menghadapi istri saya menurut Ustadz? Dia pasti menolaknya.”Ustadz ini kebetulan memiliki kemampuan istimewa.
Ia seorang yang kasyaf secara ruhani. Atas kemampuan bacaan ruhani seorang mukasyafah, orang modern menyebutnya “the six sense.” Ustadz ini bisa melihat aura seseorang dengan mudah. Dari auranya, ia bisa mengetahui karakter asli seseorang termasuk bohong tidaknya. Aura si Bapak ini bagus, orangnya jujur, agamanya bagus, mendidik istri dan keluarganya juga bagus. Ia berwibawa di hadapan istrinya dan istrinya pun hormat padanya. Ustadz itu tahu, orang ini perlu dibantu. Aura rumahnya pun bagus, ia membaca ada kelancaran atas niat si bapak ini. Disisi lain, si Bapak ini orang berada, kehidupan ekonominya maju.
“Eemh… sebuah niat yang baik dan mulia. Kalau benar niat Bapak seperti itu kenapa harus takut? Masalahnya, bingung menghadapi istri ya Pak? Hehehe … Begini saja, tolong panggil istri Bapak kesini. Insya Allah ada jalan keluarnya.” Dengan senang, deg-degan dan agak takut, si Bapak menuruti. Ia memangggil istrinya ke hadapan Ustadz itu. Setelah berada di ruang tamu, Ustadz menyapa si Ibu yang tadi siang juga hadir di pengajiannya:
“Buu… saya mau bicara, tidak mengganggu kan? Bisa kan Ibu duduk disini?”
“Iya, Pak Ustadz.” Jawab si Ibu yang telah menjadi jama’ahnya rutinnya.
“Begini Bu, jangan kaget yaa… Ibu tenang saja, jangan emosi, ada saya disini. Ada kabar yang mungkin mengagetkan dan tidak enak buat Ibu. Tapi, segala sesuatu bisa dimusyawarahkan dengan baik. Buu…, tadi saya mendengar sendiri dari Bapak. Bapak, suami Ibu ini, punya niat menikahi seseorang. Niatnya baik dan mulia, ia ingin membantunya menolong orang itu. Niat baik itu tidak boleh dihalangi. Menghalangi niat baik seseorang bisa menjadi dosa buat kita. Nah, niat baik itu dari siapapun harus dibantu. Insya Allah menjadi ibadah buat kita selama kita ikhlas membantunya. Dalam hal niat bapak ini, ibu pasti berat, tapi disitulah nilai ibadahnya. Berbuat ikhlas itu berat tapi disitulah keutamaaanya. Nah, bagaimana pandangan dan sikap Ibu? Silahkan jujur dan terbuka disini. Mumpung ada saya, silahkan ungkapkan hati Ibu apa adanya kepada Bapak. Jangan merasa ada paksaan dan jangan merasa terpaksa.” Kata Ustadz meyakinkan.
Si Ibu tentu saja kaget luar biasa. Jantungnya berdetak keras. Ia seperti kena halilintar di siang bolong mendengar penjelasan itu. Tapi, Ustadz itu sangat dihormatinya dan telah mempengaruhi jiwa dan kesadaran agamanya. Pengajiannya selama ini banyak menyadarkan jama’ahnya bagaimana beragama yang benar. Ia sering sekali menekankan pentingnya ikhlas dalam menjalani hidup, menghadapi cobaan dan dalam beribadah. Penjelasannya sederhana tapi menyentuh. Banyak jama’ahnya yang ingin benar-benar berubah.
Si Ibu benar-benar bingung dan berat menjawabnya.
“Pak … secara syari’at, Mamah tuh gak ada masalah, Mamah nerima itu ketentuan Allah !! Tapi, hati ini gimana yaa..” katanya berat.
“Pak, Bapak tuh benar begitu… ? Mencari apalagi sih Pak? Bapak itu ekonomi sudah maju, harta banyak, ke haji sudah, anak-anak sudah punya, mencari apalagi Paaak…?”
Setelah istrinya menjawab, Pak Hasan mengulangi mengutarakan niatnya. Mereka berdua saling jawab, berdialog. Ustadz membiarkan mereka berkomunikasi secara terbuka dan murni tanpa ada rekayasa.
“Bu… tadikan saya sudah membantu menyampaikannya pada Ibu. Bapak sudah mengutarakan niatnya,” sela Ustadz Ahmad, “Insya Allah niat Bapak memang baik. Tapi ingat, Ibu menjawab jangan karena saya. Harus benar-benar jujur yang keluar dari hati ibu. Saya disini hanya membantu saja agar Ibu mengetahuinya. Jangan ada kebohongan dalam rumah tangga. Bisa celaka. Bisa ada akibat yang tidak diinginkan bila bapak memendam niatnya dan tidak terus terang kepada Ibu. Makanya, saya memanggil Ibu. Inikan lebih baik daripada Bapak nanti main belakang. Ya kan Bu?”
“Iya Pak Ustadz.”Kebetulan, istrinya ini seorang istri yang baik.
Suaminya juga sama, memiliki wibawa di depan istrinya. Pak Hasan membimbing agama di keluarganya dengan baik. Secara ekonomi, selama ini si Ibu dan anak-anaknya tidak merasa kekurangan bahkan terbilang lebih dibanding tetangganya sekitarnya. Pengaruh Ustadz itu disitu mengendalikan suasana menjadi terbuka, terus terang dan terkendali. Tidak ada luapan emosi dan kemarahan.
“Maafin Bapak ya Mah… Bapak tidak berniat mengurangi kasih sayang dan perhatian pada Mamah dan keluarga. Tidak. Bagi Bapak, Mamah dan anak-anak tetap nomor satu. Bagi Bapak, keluarga adalah harta yang sangat berharga. Bapak sayang sama Mamah dan anak-anak. Bapak tergerak hati untuk menolongnya. Kebetulan dia mau. Jadi syukur, tidak juga tidak apa-apa. Bapak terserah takdir Allah saja. Niat Bapak mudah-mudahan menjadi ibadah. Mamah ridha kan…?? Gimana Mah, Mamah mengizinkan tidak?”Si Ibu itu tampak diam, perasaannya berat dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Jadi gimana Buu…? Ibu menerima?” Ustadz menegaskan lagi perlahan.Sambil berharap-harap cemas, suaminya juga mengulanginya lagi:
“Gimana Mah, keberatan tidak?”
Tiba-tiba, “Khuaa…huu…huu…” Istrinya menangis di pangkuan suaminya, ia meraung dan terisak.
Melihat itu, si Bapak pun tak kuat membendung air matanya. Ia pun menangis sambil memeluk istrinya. Keduanya menangis dalam pelukan haru mengekspresikan isi hatinya yang berat. Ustadz pun tak kuat menahan perasaannya. Hati si Ibu tampak sangat berat, tapi ia sedang berjuang mengalahkan beban perasaannya. Dari auranya, Ustadz Ahmad membaca, istrinya ini adalah tipe istri yang taat dan hormat pada suaminya.
Ustadz bergumam dalam hatinya: “Biarkan saja pada menangis, memang harus begini prosesnya.”
Setelah tangisnya agak reda, lama si Ibu masih belum menjawab. Lidahnya seolah terkunci. Ia berfikir dan perasaannya bercampur. Menjawab “tidak” ia segan pada suaminya dan khawatir menjadi masalah ke depannya. Sebagai istri, ia bergantung penuh suaminya. Suaminya selama ini adalah suami yang baik. Ia adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati. Selama ini, ia tidak pernah membangkang. Buat apa rajin ke pengajian kalau ia menjadi seorang istri pembangkang. Ia takut durhaka. Ada juga bayangan ketakutan suaminya ini suatu saat main belakang dengan perempuan lain, bila ia menolaknya. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Ia juga merasa segan pada Ustadz Ahmad yang berwibawa yang telah menjadi penyambung lidah suaminya. Tapi, menjawab
“iya,” hatinya merasakan berat. Suaminya dan Ustadz Ahmad masih menunggu. Setelah agak lama, Ustadz bertanya lagi perlahan,
“gimana Bu? Ibu bersedia? Rela?”
Dalam kemelut fikiran dan isak tangisnya, akhirnya istrinya menjawab pasrah:
“Pak Ustadz, saya pasrah saja pada suami saya. Saya taat pada Bapak sebagai pimpinan rumah tangga. Mudah-mudahan ini menjadi ibadah dan kebaikan saya di mata Allah.”
“Benar bu yaa…?”
“Iya, Pak Ustadz.” Tensinya melemah.
“Yaa… syukurlah… kalau ibu bisa menerima kenyataan ini. Mudah-mudahan Ibu tabah dan kuat menghadapinya. Bu, hidup ini seringkali mengagetkan dan tidak seperti apa yang kita kehendaki. Allah saja sudah mengaturnya seperti itu. Nah, bisa tidak kita ikhlas menerima takdir Allah yang menimpa kita itu? Kalau ikhlas, Insya Allah menjadi ibadah, jaminannya pun Insya Allah surga. Tapi ingat, Ibu berharap ini menjadi ibadah bukan karena saya. Ibadah itu hubungan Ibu langsung dengan Allah. Saya do’akan, Insya Allah, ini menjadi kebaikan ibu karena ibu bisa mewujudkan keikhlasan yang berat ini. Bukan soal Bapak nikah laginya ini, tapi soal keikhlasan dalam urusan apapun.”
“Bu,” sambung Ustadz lagi, “Ibu itu perempuan. Saya tahu, perasaan ibu berat walaupun ibu menyatakan ikhlas dan menerima.” Ustadz Ahmad berfikir, untuk sementara biarlah tidak apa-apa. Wajar. Ikhlas itu memang berat. Tapi, justru disitulah nilai ibadahnya. Mengalahkan rasa berat yang mengganjal dihati demi kebaikan adalah perjuangan untuk mewujudkan keikhlasan. Itulah pengorbanan berat yang akan mendatang ridha Allah.
“Bu, istri-istri Rasulullah saja merasa berat dimadu. Mereka juga sama perempuan. Tapi mereka bisa mengalahkan perasaannya. Itulah contoh buat kita. Agama juga memerlukan pengorbanan rasa. Kalau tidak ada pengorbanan rasa tidak akan ada keagungan. Mengalahkan rasa berat dan berkorban perasaan demi kebaikan dan demi ketaatan kepada Allah adalah keagungan. Inti perjuangan itukan mengalahkan rasa berat, mengalahkan godaan, mengalahkan egosime. Kalau agama tanpa pengorbanan tidak akan ada ibadah, tidak akan ada perjuangan, tidak akan ada keutamaan. Itulah yang membuat kita tinggi dan mulai di sisi Allah SWT. Naah… mari, usaha mewujudkan keikhlasan dan tekad mengalahkan nafsu itu kita mulai sekarang mumpung ada kesempatan. Jadikanlah ini sebagai ibadah ibu, justru ini ibadah ibu yang besar karena sanggup mengalahkan rasa berat. Ibu bisa saja menolak menjawab “tidak mau” untuk menuruti rasa panas hati ibu, tapi itu hati yang kerdil. Selama niat dan tujuan suami baik, bisa tidak kita justru membantunya bukan malah menghalanginya. Bapak caranya baik kepada Ibu dan ibu membalasnya juga dengan baik. Tanpa terasa, ini adalah saling memberi kebaikan antara Bapak dengan Ibu. Inilah suami istri yang diridhai Allah SWT.”
“Pak,” Ustadz Ahmad menggilirkan nasehatnya pada suaminya yang tampak sedang menyembunyikan rasa senangnya,
“ingat Bapak jangan dulu senang dengan penerimaan istri Bapak. Tugas bapak justru lebih berat sekarang. Bapak harus menjaga niat, jangan sampai berubah. Sekali niat Bapak melenceng bukan karena Allah nanti akan menjadi nafsu. Nafsu menggoda kita dengan cara yang sangat halus, sangat tidak terasa. Niat yang lurus akan mengontrol Bapak dari melakukan kesalahan dan kekeliruan. Tapi dasarnya salah dan niatnya nafsu, akan menghancurkan kehidupan Bapak. Sudah banyak contoh Pak, orang yang poligami menjadi hancur keluarganya karena dasar dan niatnya salah. Bapak jangan membayangkan kesenangan, tapi tanggung jawab yang berat di hadapan Allah kelak bila Bapak tidak adil. Adil itu proporsional Pak, terutama dalam rasa, bukan materi. Bapak tidak mungkin adil dalam materi karena Bapak sudah lama berumah tangga dengan Ibu. Ibu sudah banyak menerima nafkah dan materi dari Bapak. Tapi dalam rasa, Bapak harus menjaga keseimbangan. Momen yang baik sekarang ini harus menjadi langkah awal menciptakan keluarga yang lebih baik lagi, yang sakinah mawaddah warahmah. Ini harus menjadi langkah awal Bapak lebih baik lagi berkomunikasi dengan ibu, kalau perlu lebih harmonis lagi, lebih sayang dan lebih perhatian dari sebelumnya. Rumah tangga bapak yang sakinah harus dimulai dari pertemuan sekarang ini, karena langkah ini dimulai dengan cara yang baik. Tidak boleh lagi ada kebohongan atau dusta antara ibu dan bapak. Segalanya bicarakan dengan musyawarah. Jangan berat sebelah. Ingat, tanggung jawab Bapak sebagai kepala rumah tangga semakin berat dengan dua istri. Allah akan meminta pertanggungjawaban Bapak kelak.”
“Ibu,” kata Ustadz Ahmad lagi,
“Ibu juga harus menerima kenyataan ini. Ibu harus membuktikan keikhlasan ibu, jangan hanya di mulut. Jangan hanya sekarang karena ada saya, kesananya tidak. Ibu sekarang tidak bisa merasa lebih memiliki Bapak. Ibu harus menerima kenyataan bahwa sekarang ada istri lain yang memiliki Bapak. Ada istri lain yang harus diperhatikan. Ibu harus menerima dan ikhlas dengan pergiliran waktu. Mari saling menjaga, saling memperhatikan, saling menyayangi, saling mengerti dan saling memaafkan diantara kita. Insya Allah rumah tangga Ibu dan bapak akan sakinah.” Sekitar 15 menit Ustadz Ahmad memberikan nasehat pada mereka berdua. Ustadz itu merasa sudah membawa mereka pada rumah tangga poligami, maka ia pun harus benar-benar membekalinya, tidak bisa asal-asalan, jangan kesananya jadi hancur. Mereka berdua khidmat mendengarkan, tidak berani menyanggahnya, karena memang tidak perlu ada yang disanggah.
Setelah menasehati panjang lebar, Pak Ustadz muda itu kemudian melangkah lagi satu langkah.
“Nah sekarang, calon istri bapak yang baru tolong bawa kesini. Yang manggilnya Bapak. Ibu disini.”
“Panggil Pak Ustadz?” kata suaminya.
“Iya panggil. Bapak harus menjemputnya dan membawanya kesini.” Dengan air mata yang sudah mengering di wajahnya, si Bapak berdiri dan pamitan pada istrinya dan Pak Ustadz. Ia berjalan dengan hati yang bekecamuk, antara senang dan haru. Bebannya merasa telah terpecahkan dan tidak menyangka kejadiannya akan mengharukan seperti ini. Rumah calonnya tidak terlalu jauh, tak lama ia datang berdua. Perempuan muda itu sebut saja Aisyah, masih dari lingkungan kampungnya.
Saat berjalan, calon istri keduanya kaget, bergetar dan ketakutan. Perasaan bersalah menghinggapinya. Bisa dibayangkan, ia diundang oleh Ustadz Ahmad ke rumah Pak Hasan yang selama ia menjalin hubungan dengannya. Ia merasa akan disidang karena merasa telah mengganggu rumah tangga orang. Apalagi, disitu ada istrinya Pak Hasan. Tapi, ketika menjemputnya, rupanya Pak Hasan berhasil meyakinkannya bahwa ia diundang justru Ustadz Ahmad akan memenuhi harapannya diperistri Pak Hasan.
Begitu masuk rumah, Bu Hasan dan Aisyah saling menatap. Mereka kaget sekali. Hah?? Rupanya mereka saling mengenal. Si Ibu sangat kaget, tidak menyangka sama sekali bahwa calonnya adalah orang yang dia kenal. Sesudah mengucapkan salam, pada kaget, melongo dan hatinya saling bertanya-tanya. Pak Ustadz itu menenangkan.
“Silahkan duduk. Siapa namanya?”
“Aisyah, Pak Ustadz.” Jawabnya pelan. Perempuan itu wajahnya lumayan tapi tampak sudah berumur. Dengan malu-malu dan ketakutan, ia duduk di sebelah Ustadz Ahmad.
“Begini ya Aisyah… Tenaang yaa… Jangan takut. Ini bukan musibah, ini justru barokah. Pertemuan ini Insya Allah barokah.” Kata Ustadz menenangkan.
“Naah… Aisyah,” kita semua disini sudah mengetahui niat dan keinginan Bapak ini dengan Aisyah. Pak Hasan sudah mengutarakannya kepada Ibu secara terbuka. Ibu sudah mendengar semuanya. Tadi mereka sudah berangkulan saling mengikhlaskan. Walaupun terasa berat, Ibu sudah mengikhlaskan menerima niat Bapak dengan Aisyah.” Aisyah sangat kaget.
Ia bingung dan perasaan tidak menentu mendengar penjelasan Ustadz Ahmad. Rencana, keinginan dan bayangan dinikahi Pak Hasan musnah sejenak disitu. Yang ada adalah perasaan sangat malu pada Bu Hasan.
“Nah, sekarang sudah kumpul. Disaksikan ibu, bapak sekarang silahkan utarakan maksud Bapak kepada Aisyah!” Instruksi Ustadz itu. Sambil merasa berat karena disaksikan istrinya, Pak Hasan berkata, “Neng, maafkan Bapak ya… Bapak ingin mewujudkan niat kita itu. Dari pada kita sembunyi-sembunyi, daripada kita tertutup mendingan terbuka begini. Selesai pengajian tadi, Bapak nanya sama Pak Ustadz Ahmad meminta nasehat jalan keluarnya. Ternyata Pak Ustadz menyelesaikannya dengan jalan seperti ini. Benar-benar diluar dugaan. Tapi, Bapak merasa lega sekarang karena istri bapak sudah mengijinkan. Tapi, Bapak terserah Neng, mau syukur, tidak juga tidak apa-apa. Bagaimana, Neng menerima Bapak tidak?”
Wajah Aisyah tampak pucat dihinggapi rasa malu. Lidahnya terasa berat dan kelu. Ia seolah tak sanggup berbicara, ia merasakan betul berada pada pihak yang salah telah mengganggu keluarga orang. Tapi, ia juga tidak mungkin mendustai perasaannya dan mementahkan apa yang sudah direncanakannya dengan laki-laki yang sudah beristri itu.
“Ayo bu…, dijawab saja, tidak usah malu-malu. Ini adalah kebaikan. Biar menjadi jelas..!” Pinta Ustadz Ahmad.Setelah ditunggu-tunggu, akhirnya keluar juga kata-katanya. Matanya berkaca-kaca.…
“Pak Ustadz, saya malu, merasa sebagai pihak pengganggu. Saya benar-benar mohon maaf pada semuanya, terutama pada ibu. Saya pasrah saja, saya ikut saja, pada keputusan bapak dan ibu.”
“Ya sudah,” Ustadz cepat-cepat menukas. Ia memaklumi Aisyah berada pada posisi yang tidak enak.
“Tidak perlu merasa malu. Kebaikan sudah dibuka dirumah ini. Aisyah sudah diterima oleh Bu Hasan untuk turut mendampingi Bapak.”
“Sekarang, giliran Ibu bicara sama Aisyah.” Pinta Ustadz Ahmad lagi, “silahkan, ungkapkan perasaan Ibu. Apa yang ingin Ibu sampaikan.”Si Ibu juga berat, lidahnya terasa kaku.
Sangat susah ia megeluarkan kata-kata. Walaupun sudah menerima, perasaannya masih tidak menentu. Ia kemudian menangis lagi. Nafasnya tersengal. Ia sedang berjuang mengalahkan perasaannya. Kedua perempuan ini duduk berhadapan. Ia sudah menyatakan rela atas keinginan suaminya yang berarti ia harus menerima perempuan muda yang ada dihadapannya itu. Kemuliaan perempuan ini lebih besar dari egoismenya memiliki penuh suaminya. Ketaatannya sebagai istri telah mengalahkan nafsunya untuk mengikuti bisikan menolak niat suaminya. Kerelaan dimadu adalah kekuatan mengalahkan diri sendiri. Dan itu berat. Karena itu hanya sedikit perempuan yang sanggup menerimanya. Kebanyakan adalah perempuan biasa, yang dengan kesadaran umum ia menolak mentah-mentah bahkan tak sungkan-sungkan memilih cerai daripada dimadu. Kekuatan diri dan kebesaran jiwa tidak dibentuk oleh tingkat pendidikan dan pergaulan modern melainkan oleh sikap penerimaan, keikhlasan dan kepasrahan yang tinggi melalui tempaan pengalaman hidup. Bu Hasan sedang menunjukkan kekuatan itu pada perempuan muda dihadapannya.
Sambil terisak, ia berkata berat: “Te.. rus… te… rang… hik…hik…hiks…. Teteh kira bukan Eneng orangnya. Hik…hik…hiks… Teteh sering melihat Eneng. Teteh kira bukan Eneng… Tapi, ya sudaah… Teteh pesen saja… kita urus sama-sama si Bapak ya Neng… Eneng jangan sayang sama Bapak saja… Eneng harus sayang juga sama keluarga dan anak-anak ya Neeng … hik…hik… hiks…”
Mendengar kerelaan yang diungkapkan dalam suasana haru saat itu, Aisyah bukannya senang, tapi malah tak kuat menahan perasaannya. Ia pun meneteskan air matanya, terharu. Ia menjatuhkan kepalanya pada pangkuan Bu Hasan. Suasana jadi semakin haru.
““Hiks… hiks… hiks… Maafkan saya Bu… Maafkaan… Sekali lagi ma.. aaaf…!” Jawab perempuan muda itu tersedu-sedu takluk pada kemuliaan hati bu Hasan.
“Ya cukup… cukuuup…” kata Ustadz Ahmad yang juga matanya basah melihat adegan ini, “Alhamdulillah … Pernyataan bersedia sudah pada keluar secara jujur dan terbuka dari ketiga belah pihak. Insya Allah ini akan menjadi awal yang baik dalam membangun rumah tangga. Insya Allah, saat ini Allah sedang menurunkan barokahnya di ruangan ini. Air mata kepasrahan ibu berdua adalah saksi atas turunnya rahmat Allah hari di rumah ini. Alhamdulillah… kita dijauhkan dari suasana amarah dan emosi, tempatnya syetan menyelusupkan bisikan godaannya.”
“Sudaah… bu yaa… antara ketiga pihak ini sudah merelakan.” Kata Ustadz Ahmad.
“Tapi maaf,” pikiran Ustadz itu menghentak lagi,
“ini belum selesai. Sekarang saya minta, tolong panggilkan kedua orang tua Ibu alias mertua Pak Hasan. Yang manggilnya Bapak. Tolong harus hadir disini. Bilang saja saya yang memintanya. Mohon dengan sangat gitu!”
“Pak Ustadz, maaf, kenapa mereka harus dipanggil juga?” Pak Hasan nampak keberatan.
“Oh iya, harus!” Tegas Ustadz.
“Keluarga harus tahu semuanya biar tidak ada fitnah diantara saudara. Kita sudah mengawali dengan langkah yang baik, dengan keterbukaan. Semua keluarga harus tahu biar tidak ada fitnah dan ghibah dalam keluarga. Caranya harus seperti ini. Para orang tua juga harus dihadirkan untuk memberi tahu dan meminta do’anya.”
Semuanya pada kaget, tak menyangka dengan langkah Ustadz Ahmad. Tapi, karena Pak Hasan yang menginginkan pernikahan ini, ia menuruti juga.Ketika ia melangkah pergi, Ustad Ahmad memberi tugas juga pada istrinya.
“Naah… Ibu. Maaf, tugas Ibu tolong hadirkan juga orang tuanya Bapak atau mertua Ibu. Ibu ini istrinya bapak. Harus lengkap semua supaya pernikahan ini menjadi barokah buat semuanya.”Si Ibu kaget juga, tapi suasana haru saat itu tidak membuka ruang berfikir, yang ada adalah ketaatan pada Ustadz muda yang meyakinkan ini.
“Baik Pak Ustadz,” Bu Hasan pun melangkah pergi menjemput mertuanya.
Orang tua Pak Hasan rumahnya cukup dekat. Sekitar setengah jam sudah tiba. Sedangkan orang tua Bu Hasan agak jauh. Sekitar dua jam Ustadz Ahmad menunggunya. Menjelang maghrib mereka semua sudah kumpul. Drama itu diselang dulu oleh shalat maghrib berjama’ah yang dipimpin oleh Ustadz Ahmad sendiri.
Orang tua Bu Hasan masih lengkap, sedangkan orang tuanya Pak Hasan tinggal bapaknya. Istrinya sudah lama meninggal dunia. Yang datang jadi bertiga. Usia mereka rata-rata antara 70-75 tahunan. Selesai shalat magrib berjama’ah, Ustadz Ahmad rupanya masih menugaskan kedua suami istri itu, Pak Hasan dan istrinya, dengan tugas baru.
“Pak, Bu, orang tua Bapak dan Ibu masing-masing sudah hadir. Sekarang maaf, orang tuanya Aisyah juga harus dijemput. Mereka harus dihadirkan. Keduanya harus datang kesini, yang menjemputnya Bapak dan Ibu berdua. Maaf Pak, Bu yaa… harus begitu.”Suami istri itu kaget dan bingung.
Mereka celingukan. Langkah ustadz itu benar-benar diluar dugaan. Ia memberikan tugas berat terutama bagi bu Hasan.